Jumat, 15 Februari 2008

“ ATAS NAMA NASIONALISME “

“ ATAS NAMA NASIONALISME “

Mentahnya nasionalisme dianggap menjadi penyebab sekian persoalan kebangsaan di Indonesia saat ini. Tak hanya negara, rakyat pun banyak mendapat gugatan atas pemaknaan dan pemahamannya atas “nasionalisme” sebagai sebuah identitas. Berikut ini pandangan Syafiq Aleiha, Mantan Ketua Umum Dewan nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), mengenai fenomena yang semakin memburuk ini.

Apakah “nasionalisme” termasuk salah satu identitas bagi negara?
Ya, bisa kita sebut sebagai identitas. Nasionalisme atau identitas nation sendiri muncul karena adanya konsep modern dan tidak kita bawa sejak lahir. Ia (nasionalisme, baca) lahir pada 1920 sebagai cita-cita akan sebuah negara bangsa, sebelumnya kita belum menemukan negara bangsa. Studi-studi tentang nation-state di nusantara juga relatif baru, seperti yang diajukan Benedict Anderson. Gagasan-gagasan awal tentang nation-state yang kemudian mendasari munculnya ideologi “nasionalisme” juga baru. Ketika Ernast Renan mendefinisikan what is nation? Dia menyebutnya bahwa nasionalisme adalah jiwa. Seperti dikutip Soekarno, nasionalisme merupakan soul of spiritual principle. Dari situ sebenarnya nasionalisme bisa saja disebut sebagai identitas. Identitas nation bisa saja seperti identitas orang dengan suku tertentu, tapi ia masih punya peluang untuk merubah, sehingga bukan identitas yang baku dan mati.
Ernast Renan, pencetus gagasan nasionalisme, mengatakan bahwa bangsa merupakan solidaritas tertinggi yang lahir akibat pengalaman sejarah penderitaan komunal. Solidaritas inilah yang menjadi dasar utama adanya komunitas hari ini dan masa depan. Sebagaimana halnya Indonesia, menyadari kekuatan dan potensinya sebagai masyarakat multi etnik, muncullah keinginan merdeka. Dengan mempersatukan masyarakat nusantara, lepaslah Indonesia dari cengkeraman Belanda. Apalagi dengan dorongan kekuatan politis yang telah ada sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh garis batas wilayah pengawasan kerajaan-kerajaan nusantara pada masa lampau.
Sedangkan menurut Ernest Gellner, nasionalisme merupakan konsekuensi dari bentuk baru pengorganisasian masyarakat yang bersandar pada budaya tinggi yang dibentuk oleh kaum persekolahan dan dijaga oleh negara. Dalam bukunya, Nation and Nationalism, ia menolak jika dikatakan bahwa bangsa merupakan komunitas alamiah. Bagi Gellner, kaum terdidik borjuis acapkali menempati posisi tokoh utama dalam proses pembentukan bangsa. Nasionalisme bukanlah bangkitnya kekuatan masa lalu yang laten atau tertidur, kendati memiliki klaim seolah-olah demikian. Menanggapi adanya perbedaan teoretis tersebut, Lutfi Rahman, pengamat sosial politik dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) berpendapat, ada beberapa hal yang melandasi lahirnya nasionalisme Indonesia. Pertama, Islam yang mampu mengikat masyarakat nusantara yang multi etnik melampau batas-batas ras, suku, dan budaya, dalam konteks melawan belanda. “stigmatisasi bahwa kolonialisme identik dengan kafir, dan masyarakat nusantara yang mayoritas muslim wajib memeranginya, merupakan stimulus yang efektif”. Kedua, masuknya pengetahuan modern yang bertautan dengan paham Jawa yang melahirkan struktur priyayi dan rakyat. Hal ini merupakan kontribusi cukup besar bagi kaum terdidik di nusantara untuk membangun mimpinya tentang Indonesia. Ketiga, masuknya gagasan “Kiri”, seperti SI Semarang yang mulai membedakan antara rakyat, proletar, dan kolonial Belanda dimasukkan dalam kategori kelompok borjuis.
Dari ketiga hal ini menurut Luthfi, pengalaman dan cita-cita tentang sebuah masyarakat dalam pengelolaan infrastrukturnya terbentuk. Meskipun waktu itu perdebatannya sebatas kolonialisme belanda. “Kita bisa meniru Sun Yat Sen atau Ibnu Saud, yang lebih mengedepankan kemerdekaan terlebih dahulu. Sedangkan bentuk dan pengelolaan negara adalah hal berikutnya”, demikian Luthfi menyitir pernyataannya Soekarno waktu itu.
Sementara itu, menurut Kusnanto anggoro, pengamat politik LIPI, lunturnya kesadaran kebangsaan selama ini disebabkan karena negara lebih menggunakan pendekatan militer. Kendati bertanggung jawab sebagai instrumen pembina kebangsaan, suatu kesalahan jika negara menggunakan cara-cara militer sebagai media untuk mempersatukan bangsa. Kekerasan hanya bisa menyelesaikan persoalan keutuhan wilayah secara fisik saja. Sedangkan jiwa nasionalisme tidak akan pernah bisa dibentuk dengan kekerasan. Kusnanto juga berpendapat bahwa pemaknaan nasionalisme pasca perang dingin harus berbeda dengan nasionalisme era sebelumnya. Saat ini, nasionalisme hanya dimaknai sebagai stabilitas ekonomi-politik. Sehingga ketika terjadi ketidakstabilan ekonomi-politik, besar kemungkinan akan timbul etno nasionalisme, yakni nasionalisme yang lebih menonjolkan identitas kecil dan mengabaikan yang lebih besar. Fenomena ini biasanya terjadi di negara-negara yang plural seperti Semenanjung Balkan, Rwanda dan beberapa negara Amerika Tengah dimasa etno-nasionalisme lebih dominan. Padahal kecenderungan ini akan mengancam konsepsi nation-state.
Untuk menghadapi ancaman etno-nasionalisme dalam konteks Indonesia harus dibedakan antara nation-etnic group, yang bisa diberi hak politik (political right) sekaligus kebebasan warga sipil (civil liberties), dengan etnic group yang hanya diberi civil liberties tanpa harus mendapatkan polical right. Kendati demikian, pengakuan otonomi kultural mesti tetap diberikan. Pengamat politik LIPI ini juga menyarankan, Indonesia harus melakukan transparasi dalam memahami nasionalisme dan nasionalitas. Sebab, sebagai sebuah proyek yang dilakukan negara, nasionalisme memerlukan sebuah pemerintahan yang efektif sekaligus legitimasi dari publik. Untuk itu saluran-saluran demokratisasi akan menjadi instrumen penting dalam menciptakan ke-Indonesia-an bersama. Di samping itu, negara memiliki peran penting dalam mencegah berbenturan nasionalitas satu dengan yang lainnya. Konsep multikulturalisme misalnya menuntut memiliki multipledentity. Artinya, rakyat sebagai etno-nasionalisme, tetapi juga mempunyai nasionalitas dan juga kewarganegaraan. Baru ketika bertiganya berdampingan, bisa dilanjutkan dengan berbicara Indonesianitas atau keindonesiaan. Tapi yang penting, kita harus saling menghormati, bertanggung jawab dan solidaritas untuk mempertahankan Indonesia sebagai bangunan negara tanpa mengorbankan esensi nasionalisme dan nasionalitas yang lebih kecil.

Kapan seorang warga negara harus menggunakan atau menanggalkan “nasionalisme”?
Nasionalisme paling relevan ketika digunakan untuk melawan imperialisme. Karena sebagian besar kebangkitan nasionalisme adalah talenta guna menentang imperialisme. Terutama diluar Eropa, nasionalisme lebih digunakan untuk mengusir penjajah. Konteks Eropa, nasionalisme lebih didasari semangat modernisme, sebuah organisasi negara yang berawal dari kerajaan, berubah menjadi negara bangsa. Nasionalisme juga bisa digunakan untuk konteks hubungan satu bangsa dengan lainnya melalui kaca mata identitas sebagai sebuah nation tertentu. Sebenarnya secara politik-ekonomi-budaya, nasionalisme menjadi relevan untuk dikemukakan. Fenomena dominasi dan hegemoni ekonomi-politik-budaya negara-negara maju lebih western oriented, atau America centris, nasionalisme menjadi relevan untuk dimunculkan kembali. Bukan dengat semangat untuk mengkotak-kotakan bangsa manusia, tapi untuk mendorong balancing of power dan penegakan demokrasi. Sebab demokrasi akan berjalan apabila balancing of power telah terpenuhi. Semua itu bisa muncul kalau ada semacam kekuatan sebuah bangsa tertentu yang mau memperjuangkan identitas kebangsaannya. Tapi pada level tertentu, nation menjadi tidak relevan digunakan ketika dia menjadi tertutup, seperti nasionalisme ala Hitler, yang menggasak ras atau bangsa lain.

Akankan konsep nasionalisme selalu muncul dari penguasa atau kelompok bangsawan?
Untuk fenomena Indonesia, nasionalisme memang menjadi monopoli penguasa. Kasus Aceh misalnya, tentara menyatakan atas nama nasionalisme, kemudian bangsa sendiri di gasak, dibunuh dan dibantai. Itulah bahaya dari pemikiran buta nasionalisme. Namun kalau kita mau jujur, semua ideologi bahkan agama pun memiliki bahaya serupa. Apa dan siapa yang dianggap menyimpang dan tidak murni, akan mendapat hukuman serta tidak diakui. Maka problem sesungguhnya adalah persoalan demokrasi, bahkan sampai pada pemaknaan nasionalisme. Dan pilihan nasionalisme fanatik seperti yang ada di kepala jenderal-jenderal yang memberlakukan operasi militer di Aceh itu? Ataukan nasionalisme seperti yang diusung para generasi awal abad 20-an ketika mereka menentang kolonialisme Eropa? Pilihan kedua inilah yang sebenarnya harus kita usung. Karena pada dasarnya, nasionalisme merupakan kebebasan dari kekuatan eksternal atau free from external contrain.
Rakyat Aceh melihat Soekarno dan Hatta sebagai seorang muslim, serta teriakan “Allahu Akbar” oleh rakyat Surabaya saat itu melawan Belanda, itulah yang membuat Aceh menyatakan bagian dari Republik Indonesia waktu itu. Adanya kesamaan agama sebagai faktor pemupuk nasionalisme ini juga pernah dilontarkan oleh MT Kahin. Dalam bukunya Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, ia menuliskan bahwa islam bukan hanya suatu ikatan biasa, tetapi benar-benar menjadi semacam simbol melawan kelompok dalam (in group) untuk melawan pengganggu asing. Menurutnya, rakyat Aceh bersedia bergabung dengan NKRI saat proklamasi 1945, hanya didasari sentimen agama yang sama waktu itu.
Kian memudarnya nasionalisme juga disebabkan karena tertutupnya perdebatan tentang bagaimana bangsa ini hendak dikelola. Menurut Luthfi Rahman, hal ini mulai terjadi saat momentum Dekrit Presiden masa Soekarno dan berlanjut hingga rezim Soeharto. Akibatnya, tidak ada lagi diskursus mengenai nation maupun state bagi Indonesia. Membuka kembali perdebatan ini merupakan hal penting, karena adanya endapan yang tertahan ketika penindasan yang dilakukan Orde Baru.

Dalam konteks Indonesia, adakah masyarakat yang mengakui atau menggunakan nasionalisme sebagai salah satu identitas?
Banyak orang Indonesia mengakui. Seperti yang kita saksikan, masihbanyak orang menonton badminton, sepak bola ataupun pertandingan olah raga lainnya yang melibatkan tim nasional Indonesia. Itu adalah contoh dari unsur-unsur nasionalisme, walaupun yang paling sepele. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, memang nasionalisme acapkali tidak digunakan. Karena nasionalisme bukan soal every day live politic (politik sehari-hari). Seorang petani yang tiap hari ke sawah, dalam pergaulannya akan lebih mengedepankan sisi petani sebagai identitas, ketimbang nasionalisme. Dalam gagasan dan lingkup kecil dia tidak akan banyak bersentuhan dengan nasionalisme, sehingga ia tak perlu mengungkapkan hal itu. Karena memang tak cukup ruang untuk memunculkannya. Orang-orang yang banyak menggunakan identitas bangsa, sebenarnya mereka yang sering berhubungan lintas negara.


Tidak ada komentar:

"MENDIDIK RAKYAT DENGAN PERGERAKAN, MENDIDIK PENGUASA DENGAN PERLAWANAN"

Situasi obyektif negara yang masih diliputi oleh ketidakadilan kepada rakyat sebagai pemegang kuasa atas negara tentunya harus disikapi dengan sebuah langkah yang teratur sekaligus revolusioner. Kepemilikan atas modal dan alat produksi oleh rakyat merupakan keniscayaan yang harus segera diwujudkan.
Maka blog ini sebagai media alternatif dalam FGD (focus groups discussion) untuk melahirkan gagasan-gagasan baru untuk dipraksiskan dalam membentuk karakter bangsa demi cita-cita nasional demokrasi kerakyatan untuk menuju negara revolusioner.